Shalahuddin Al Ayyubi atau juga dipanggil Saladin atau Salah ad-Din (Dalam Bahasa Arab: صلاح الدين الأيوبي, dalam bahasa Kurdi: صلاح الدین ایوبی) (Sholahhuuddin al ayyubi) (c. 1138 - 4 Maret 1193) adalah seorang jendral dan pejuang muslim Kurdi dari Tikrit (daerah utara Irak saat ini).
Beliau mendirikan Dinasti Ayyubiyyah di Mesir, Suriah, sebagian Yaman, Irak, Mekkah Hejaz dan Diyar Bakr. Shalahuddin Al Ayyubi
terkenal di dunia Muslim dan Kristen karena kepemimpinannya, kekuatan
militer, sifat-sifatnya yang ksatria dan pengampun pada saat ia
berperang melawan tentara salib.
Sultan Shalahuddin Al Ayyubi juga adalah seorang ulama. Ia memberikan catatan kaki dan berbagai macam penjelasan dalam kitab hadits Abu Dawud.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab (13-23 H/634-644 M)
Jerussalam dapat dikuasai oleh kaum muslimin dalam suatu penyerahan
kuasa secara damai. Sayidina Umar sendiri datang ke Jerussalem untuk
menerima penyerahan kota Suci itu atas desakan dan persetujuan Uskup
Agung Sophronius.
Berabad abad lamanya kota itu berada di bawah kepengurusan Islam, tapi
penduduknya bebas memeluk agama dan melaksanakan ajaran agamanya
masing-masing tanpa ada gangguan. Orang-orang Kristian dari seluruh
dunia juga bebas datang untuk mengerjakan haji di kota Suci itu dan
mengerjakan upacara keagamaannya.
Orang-orang Kristian dari Eropa datang mengerjakan haji dalam jumlah
rombongan yang besar dengan membawa obor dan pedang seperti tentara.
Sebagian dari mereka mempermainkan pedang dengan dikelilingi pasukan
gendang dan seruling dan diiringi pula oleh pasukan bersenjata lengkap.
Sebelum Jerussalem dibawah kepengurusan Kerajaan Seljuk pada tahun 1070,
upacara seperti itu dibiarkan saja oleh umat Islam, karena dasar
toleransi agama. Setelah Kerajaan Seljuk memerintah, upacara seperti itu
dilarang dengan alasan keselamatan. Mungkin karena upacara tersebut
semakin berbahaya. Lebih-lebih lagi kumpulan-kumpulan yang mengambil
bagian dalam upacara itu sering menyebabkan kegaduhan dan huru-hara.
Disebutkan bahwa pada tahun 1064 ketua Uskup memimpin pasukan sebanyak
7000 orang jemaah haji yang terdiri dari kumpulan Baron-baron dan para
pahlawan telah menyerang orang-orang Arab dan orang-orang Turki.
Tindakan Seljuk itu menjadi salah anggapan oleh orang-orang Eropa.
Pemimpin-pemimpin agama mereka menganggap bahwa kebebasan agamanya
diganggu oleh orang-orang Islam dan menyeru agar Tanah Suci itu
dibebaskan dari genggaman umat Islam.
Patriach Ermite (Peter The Hermit) adalah salah seorang
paderi yang paling lantang membangkitkan kemarahan umat Kristian. Dalam
usahanya untuk menarik simpati umat Kristian, Ermite telah berkeliling
Eropa dengan mengendarai seekor keledai sambil memikul kayu Salib besar,
berkaki ayam dan berpakaian compang camping. Dia berpidato di hadapan
khalayak ramai, di dalam gereja, di jalan-jalan raya atau di
pasar-pasar.
Katanya, dia melihat penghinaan kesucian ke atas kubur Nabi Isa oleh
Kerajaan Turki Seljuk. Diceritakan bahwa jemaah haji Kristian telah
dihina, dizalimi dan dinista oleh orang-orang Islam di Jerussalem.
Bersamaan dengan itu, dia menghasut orang ramai agar bangkit untuk
berperang demi membebaskan Jerussalem dari tangan orang Islam dan
hasutan Ermite berhasil.
Keluarlah fatwa Paus Urbanus II (Pope Urban 2) yang
mengumumkan ampunan seluruh dosa bagi yang bersedia dengan suka rela
mengikuti Perang Suci itu, sekalipun sebelumnya dia merupakan seorang
perompak, pembunuh, pencuri dan sebagainya.
Maka keluarlah ribuan umat Kristian untuk mengikuti perang dengan
memikul senjata untuk ikut perang Suci. Mereka yang ingin mengikuti
perang ini diperintahkan agar meletakkan tanda Salib di badannya, oleh
karena itulah perang ini disebut Perang Salib.
Paus Urbanus menetapkan 15 agustus 1095 bagi pemberangkatan tentara
Salib menuju Timur Tengah, tapi kalangan awam sudah tidak sabar menunggu
lebih lama lagi setelah dijanjikan dengan berbagai kebebasan, kemewahan
dan berlimpahnya makanan.
Mereka mendesak Paderi Patriach Ermite agar berangkat memimpin
mereka. Maka Ermite pun berangkat dengan 60,000 orang pasukan, kemudian
disusul oleh kaum tani dari Jerman seramai 20.000, datang lagi 200,000
orang menjadikan jumlah keseluruhannya 300,000 orang lelaki dan
perempuan. Sepanjang perjalanan, mereka di izinkan merompak, memperkosa,
berzina dan mabuk-mabuk. Setiap penduduk negeri yang dilaluinya, selalu
mengalu-alukan dan memberikan bantuan seperlunya.
Akan tetapi sesampainya di Hongaria dan Bulgaria, sambutan sangat
dingin, menyebabkan pasukan Salib yang sudah kekurangan makanan ini
marah dan merampas harta benda penduduk. Penduduk di dua negeri ini
tidak tinggal diam. Walau pun mereka sama-sama beragama Kristian, mereka
tidak senang dan menuntut balas.
Terjadilah pertempuran sengit dan pembunuhan yang mengerikan. Dari
300,000 orang pasukan Salib itu hanya 7000 saja yang selamat sampai di
Semenanjung Thracia di bawah pimpinan sang Rahib.
Ketika pasukan Salib itu telah mendarat di pantai Asia kecil, pasukan
kaum Muslimin yang di pimpin oleh Sultan Kalij Arselan telah
menyambutnya dengan ayunan pedang. Maka terjadilah pertempuran sengit
antara kaum Salib dengan pasukan Islam yang berakhir dengan hancur
binasanya seluruh pasukan Salib itu.
Setelah kaum itu musnah sama sekali, muncullah pasukan Salib yang
dipimpin oleh anak-anak Raja Godfrey dari Lorraine Perancis, Bohemund
dari Normandy dan Raymond dari Toulouse. Mereka berkumpul di
Konstantinopel dengan kekuatan 150,000 laskar, kemudian menyeberang
selat Bosfur dan menyerbu Islam bagaikan air bah. Pasukan kaum Muslimin
yang hanya berkekuatan 50,000 orang bertahan mati-matian di bawah
pimpinan Sultan Kalij Arselan.
Satu persatu kota dan Benteng kaum Muslimin jatuh ke tangan kaum Salib,
memaksa Kalij Arselan berundur dari satu benteng ke benteng yang lain
sambil menyusun kekuatan dan taktik baru. Bala bantuan kaum Salib datang
bergelombang-gelombang dari negara-negara Eropa. Sedangkan Kalij
Arselan tidak dapat mengharapkan bantuan dari wilayah-wilayah Islam yang
lain, karena mereka sibuk dengan kemelut dalam negeri masing-masing.
Setelah berlangsung pertempuran sekian lama, akhirnya kaum Salib dapat
mengepung Baitul Maqdis, tapi penduduk kota Suci itu tidak mau menyerah
kalah begitu saja. Mereka telah berjuang dengan jiwa raga mempertahankan
kota Suci itu selama satu bulan.
Akhirnya pada 15 Juli 1099, Baitul Maqdis jatuh ke tangan pasukan Salib,
tercapailah cita-cita mereka. Berlaangsunglah keganasan luar biasa yang
belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia.
Kaum Kristian itu menyembelih penduduk, perempuan dan anak-kanak dengan
sangat ganasnya. Mereka juga membantai orang-orang Yahudi dan
orang-orang Kristian yang enggan bergabung dengan kaum Salib. Keganasan
kaum Salib Kristian yang sangat melampau itu dikutuk dan dikatakan oleh
para saksi dan penulis sejarah yang terdiri dari berbagai agama dan
bangsa.
Seorang ahli sejarah Perancis, Joseph François Michaud berkata:
“Pada saat penaklukan Jerussalem oleh orang Kristian tahun 1099,
orang-orang Islam dibantai di jalan-jalan dan di rumah-rumah. Jerussalem
tidak punya tempat lagi bagi orang-orang yang kalah itu. Beberapa orang
mencoba mengelak dari kematian dengan cara menghendap-hendap dari
benteng, yang lain berkerumun di istana dan berbagai menara untuk
mencari perlindungan terutama di masjid-masjid. Namun mereka tetap tidak
dapat menyembunyikan diri dari pengejaran orang-orang Kristian itu."
Tentara Salib yang menjadi tuan di Masjid Umar, di mana orang-orang
Islam mencoba mempertahankan diri selama beberapa lama menambahkan lagi
adegan-adegan yang mengerikan yang menodai penaklukan Titus. Tentera
infanteri dan kaveleri lari tunggang langgang di antara para buruan. Di
tengah huru-hara yang mengerikan itu yang terdengar hanya rintihan dan
jeritan kematian. Orang-orang yang menang itu memijak-mijak tumpukan
mayat ketika mereka lari mengejar orang yang cuba menyelamatkan diri
dengan sia-sia.
Raymond d’Agiles, yang menyaksikan peristiwa itu dengan mata kepalanya sendiri mengatakan:
“Di bawah serambi masjid yang melengkung itu, genangan darah dalamnya mencecah lutut dan mencapai tali kekang kuda.”
Michaud berkata: “Semua yang tertangkap yang disisakan dari pembantaian
pertama, semua yang telah diselamatkan untuk mendapatkan upeti, dibantai
dengan kejam. Orang-orang Islam itu dipaksa terjun dari puncak menara
dan atap-atap rumah, mereka dibakar hidup-hidup,diseret dari tempat
persembunyian bawah tanah, diseret ke hadapan umum dan dikorbankan di
tiang gantungan.
Air mata wanita, tangisan anak-kanak, begitu juga pemandangan dari
tempat Yesus Kristus memberikan ampun kepada para algojonya, sama sekali
tidak dapat meredakan nafsu membunuh orang-orang yang menang itu.
Penyembelihan itu berlangsung selama seminggu. Beberapa orang yang
berhasil melarikan diri, dimusnahkan atau dijadikan budak untuk kerja
paksa yang mengerikan.”
Gustav Le Bon telah menyiratkan penyembelihan kaum Salib Kristian tersebut dalam kata-katanya:
“Kaum Salib kita yang “bertakwa” itu melakukan berbagai bentuk
kezaliman, kerusakan dan penganiayaan, mereka kemudian mengadakan suatu
mufakat yang memutuskan supaya dibunuh saja semua penduduk Baitul Maqdis
yang terdiri dari kaum Muslimin dan bangsa Yahudi serta orang-orang
Kristian yang tidak memberikan pertolongan kepada mereka yang jumlah
mencapai 60,000 orang. Orang-orang itu telah dibunuh semua dalam masa 8
hari saja termasuk perempuan, kanak-kanak dan orang tua, tidak seorang
pun yang terkecuali.
Ahli sejarah Kristian yang lain, Mill, mengatakan:
“Ketika itu diputuskan bahawa rasa kasihan tidak boleh diperlihatkan
terhadap kaum Muslimin. Orang-orang yang kalah itu diseret ke
tempat-tempat umum dan dibunuh. Semua kaum wanita yang sedang menyusui,
anak-anak gadis dan anak-anak lelaki dibantai dengan kejam. Tanah
lapang, jalan-jalan, bahkan tempat-tempat yang tidak berpenghuni di
Jerusssalem ditaburi oleh mayat-mayat wanita dan lelaki, dan tubuh
anak-kanak yang terkoyak. Tidak ada hati yang lebur dalam keharuan atau
yang tergerak untuk berbuat kebajikan melihat peristiwa mengerikan itu.”
Jatuhnya kota Suci Baitul Maqdis ke tangan kaum Salib telah mengejutkan
para pemimpin Islam. Mereka tidak menyangka kota Suci yang telah
dikuasainya selama lebih 500 tahun itu bisa terlepas dalam sekejap mata.
Mereka sadar akan kekilafan mereka karena terpecah-belah. Para ulama
telah berbincang dengan para Sultan, Emir dan Khalifah agar tindakan
berat dalam perkara ini.Usaha mereka berhasil. Setiap penguasa negara
Islam itu bersedia bergabung tenaga untuk merampas balik kota Suci
tersebut.
Di antara pemimpin yang paling gigih dalam usaha menghalau tentara Salib
itu ialah Imamuddin Zanki dan diteruskan oleh anaknya Emir Nuruddin
Zanki dengan dibantu oleh panglima Asasuddin Syirkuh.
Setelah hampir empat puluh tahun kaum Salib menduduki Baitul Maqdis, Shalahuddin Al Ayyubi baru lahir ke dunia. Keluarga Shalahuddin taat beragama dan berjiwa pahlawan.
Ayahnya, Najmuddin Ayyub adalah seorang yang termasyhur dan beliau pulalah yang memberikan pendidikan awal kepada Shalahuddin Al Ayyubi.
Sholahuddin Yusuf bin Najmuddin Ayyub dilahirkan di Takrit Irak pada
tahun 532 Hijrah /1138 Masihi dan wafat pada tahun 589 H/1193 M di
Damsyik.
Shalahuddin Al Ayyubi terlahir dari keluarga Kurdish di
kota Tikrit (140km barat laut kota Baghdad) dekat sungai Tigris pada
tahun 1137M. Masa kecilnya selama sepuluh tahun dihabiskan belajar di
Damaskus di lingkungan anggota dinasti Zangid yang memerintah Syria,
yaitu Nuruddin Zangi.
Selain belajar Islam, Shalahuddin Al Ayyubi pun mendapat pelajaran kemiliteran dari pamannya Asaddin Shirkuh, seorang panglima perang Turki Seljuk.
Bersama dengan pamannya, Shalahuddin Al Ayyubi
menguasai Mesir, dan mendeposisikan sultan terakhir dari kekhalifahan
Fatimiah (turunan dari Fatimah Az-Zahra, putri Nabi Muhammad SAW).
Pada tahun 549 H/1154 M, panglima Asasuddin Syirkuh memimpin tentaranya merebut dan menguasai Damsyik. Shalahuddin Al Ayyubi yang ketika itu baru berusia 16 tahun turut serta sebagai pejuang.
Pada tahun 558 H/1163 Masihi, panglima Asasuddin membawa Shalahuddin Al Ayyubi
yang ketika itu berusia 25 tahun untuk menundukkan Daulat Fatimiyah di
Mesir yang diperintah oleh Aliran Syi`ah Ismailiyah yang semakin lemah.
Usahanya berhasil. Khalifah Daulat Fatimiyah terakhir Adhid Lidinillah
dipaksa oleh Asasuddin Syirkuh untuk menandatangani perjanjian. Akan
tetapi, Perdana Menteri Shawar merasa iri melihat Syirkuh semakin
populer di kalangan istana dan rakyat.
Dengan sembunyi-sembunyi dia pergi ke Baitul Maqdis dan meminta bantuan dari pasukan Salib untuk menghalau Syirkuh dari Mesir.
Pasukan Salib yang dipimpin oleh King Almeric dari Jerussalem menerima
baik jemputan itu. Maka terjadilah pertempuran antara pasukan Asasuddin
dengan King Almeric yang berakhir dengan kekalahan Asasuddin. Setelah
menerima syarat-syarat damai dari kaum Salib, panglima Asasuddin dan Shalahuddin Al Ayyubi diperbolehkan balik ke Damsyik.
Kerjasama perdana menteri Shawar dengan orang King Almeric itu telah
menimbulkan kemarahan Emir Nuruddin Zanki dan para pemimpin Islam
lainnya termasuk Baghdad.
Lalu dipersiapkannya tentara besar yang dipimpin oleh panglima Syirkuh dan Shalahuddin Al Ayyubi untuk menghukum si pengkhianat Shawar.
King Almeric terburu-buru menyiapkan pasukannya untuk melindungi Wazir
Shawar setelah mendengar kemarahan pasukan Islam. Akan tetapi Panglima
Syirkuh kali ini berhasil membinasakan pasukan King Almeric dan
menghalaunya dari bumi Mesir.
Panglima Shyirkuh dan Shalahuddin Al Ayyubi terus masuk
ke ibu kota Kaherah dan mendapat perlawanan dari pasukan Wazir Shawar.
Akan tetapi pasukan Shawar hanya dapat bertahan sebentar saja, dia
sendiri melarikan diri dan bersembunyi. Khalifah Al-Adhid Lidinillah
terpaksa menerima dan menyambut kedatangan panglima Syirkuh untuk kedua
kalinya.
Suatu hari panglima Shalahuddin Al Ayyubi berziarah ke kuburan seorang wali Allah di Mesir, ternyata Wazir Besar Shawar dijumpai bersembunyi di situ. Shalahuddin Al Ayyubi segera menangkap Shawar, dibawa ke istana dan kemudian dihukum bunuh.
Khalifah Al-Adhid melantik panglima Asasuddin Syirkuh menjadi perdana
menteri menggantikan Shawar. Perdana menteri Baru itu segera melakukan
perbaikan dan pembersihan pada setiap institusi kerajaan secara
berperingkat. Sementara anak saudaranya, panglima Shalahuddin Al Ayyubi
diperintahkan membawa pasukannya mengadakan pembersihan di kota-kota
sepanjang sungai Nil sehingga Assuan di sebelah utara dan bandar-bandar
lain termasuk bandar perdagangan Iskandariah.
Perdana Menteri Syirkuh tidak lama memegang jawatannya, karena beliau
wafat pada tahun 565 H/1169 M. Khalifah Al-Adhid melantik panglima Shalahuddin Al Ayyubi
menjadi pengganti Syirkuh dengan mendapat persetujuan pembesar-pembesar
Kurdi dan Turki. Namun Walaupun berkhidmat di bawah Khalifah Daulat
Fatimiah, Shalahuddin tetap menganggap Emir Nuruddin Zanki sebagai
ketuanya.
Nuruddin Zanki berulang kali mendesak Shalahuddin Al Ayyubi
agar menangkap Khalifah Al-Adhid dan mengakhiri kekuasaan Daulat
Fatimiah untuk seterusnya diserahkan kembali kepada Daulat Abbasiah di
Baghdad.
Akan tetapi Shalahuddin Al Ayyubi tidak mau bertindak
terburu-buru, beliau memperhatikan keadaan sekelilingnya sehingga
musuh-musuh dalam selimut betul-betul lumpuh.
Barulah pada tahun 567 H/1171 Masihi, Shalahuddin mengumumkan penutupan
Daulat Fatimiah dan kekuasaan diserahkan semula kepada Daulat Abbasiah.
Maka doa untuk Khalifah Al-Adhid pada khutbah Jumaat hari itu telah
ditukar kepada doa untuk Khalifah Al-Mustadhi dari Daulat Abbasiah.
Ketika pengumuman peralihan kuasa itu dibuat, Khalifah Al-Adhid sedang
sakit kuat, sehingga beliau tidak mengetahui perubahan besar yang
berlaku di dalam negerinya dan tidak mendengar bahawa Khatib Jumaat
sudah tidak mendoakan dirinya lagi.
Sehari selepas pengumuman itu, Khalifah Al-Adhid wafat dan dikebumikan sebagaimana kedudukan sebelumnya, yakni sebagai Khalifah.
Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Daulat Fatimyah yang dikuasai oleh
kaum Syi’ah selama 270 tahun. Keadaan ini memang telah lama
ditunggu-tunggu oleh golongan Ahlussunnah di seluruh negara Islam
lebih-lebih lagi di Mesir sendiri.
Apalagi setelah perdana menteri Shawar berkomplot dengan kaum Salib
musuh Islam. Pengembalian kekuasaan kepada golongan Sunni itu telah
disambut meriah di seluruh wilayah-wilayah Islam, lebih-lebih di Baghdad
dan Syiria atas restu Khalifah Al-Mustadhi dan Emir Nuruddin Zanki.
Mereka sangat berterima kasih kepada Panglima Shalahuddin Al Ayyubi yang dengan kebijaksanaan dan kepintarannya telah menukar suasana itu secara aman dan damai.
Serentak dengan itu pula, Perdana Menteri Shalahuddin Al Ayyubi
telah meresmikan Universitas Al-Azhar yang selama ini dikenal sebagai
pusat pengajian Syiah kepada pusat pengajian Ahlussunnah Wal Jamaah
(Semoga ALLOH SWT membalas jasa-jasa Shalahuddin Al Ayyubi).
Walaupun sangat pintar dan bijak mengatur strategi dan berani di medan tempur, Shalahuddin Al Ayyubi berhati lembut, tidak mau menipu atasan demi kekuasaan dunia.
Beliau tetap setia pada atasannya, tidak mau merampas kekuasaan untuk
kepentingan peribadi. Karena apa yang dikerjakannya selama ini hanyalah
mencari peluang untuk menghalau tentara Salib dari bumi Jerussalem.
Untuk tujuan ini, beliau berusaha menyatukan wilayah-wilyah Islam
terlebih dahulu, kemudian menghapuskan para pengkhianat agama dan negara
agar peristiwa perdana menteri Shawar tidak berulang lagi.
Di Mesir, beliau telah berkuasa penuh, tapi masih tetap taat setia pada
kepimpinan Nuruddin Zanki dan Khalifah di Baghdad. Tahun 1173 M, Emir
Nuruddin Zanki wafat dan digantikan oleh puteranya, Ismail, yang ketika
itu baru berusia 11 tahun dan bergelar Mulk al Shalih.
Para ulama dan pembesar menginginkan agar Emir Shalahuddin Al Ayyubi
mengambil alih kuasa karena tidak suka kepada Mulk al-Shalih karena
banyak melalaikan tanggung-jawabnya dan suka bersenang-senang.
Akan tetapi Shalahuddin Al Ayyubi tetap taat setia dan mendoakan Mulk al Saleh dalam setiap khutbah Jumaat, bahkan mengabadikannya pada mata wang syiling.
Saat Damsyik terdesak oleh serangan kaum Salib, barulah Shalahuddin Al Ayyubi menggerakkan pasukannya ke Syiria untuk mempertahankan kota itu dari kejatuhan.
Tidak lama kemudian Ismail wafat, maka Shalahuddin Al Ayyubi menyatukan Syria dengan Mesir dan menobatkan Emirat Al-Ayyubiyah dengan beliau sendiri sebagai Emirnya yang pertama.
Tak berapa lama kemudian, Sultan Shalahuddin Al Ayyubi dapat menggabungkan negeri-negeri An-Nubah, Sudan, Yaman dan Hijaz ke dalam kekuasaannya yang besar.
Negara di Afirka yang telah diduduki oleh laskar Salib dari Normandy, juga telah dapat direbutnya dalam masa yang singkat.
Dengan ini kekuasaan Shalahuddin Al Ayyubi telah cukup
besar dan kekuatan tentaranya cukup untuk mengusir tentara Kristian yang
menduduki Baitul Maqdis selama berpuluh tahun.
Sifatnya yang lemah lembut, zuhud, wara’ dan sederhana membuat kaum
Muslimin di bawah kekuasaannya sangat mencintainya. Demikian juga para
ulama sentiasa mendoakannya agar cita-cita sucinya untuk merampas semula
Tanah Suci berhasil dengan segera.
Setelah merasa kuat, Sultan Shalahuddin Al Ayyubi memfokuskan perhatiannya untuk memusnahkan tentara Salib yang menduduki Baitul Maqdis dan merebut kota Suci itu semula.
Banyak rintangan dan problem yang dialami oleh Sultan sebelum maksudnya
tercapai. Siasat yang mula-mula dijalankannya adalah mengajak tentara
Salib untuk berdamai.
Pada lahirnya, kaum Salib memandang bahwa Shalahuddin Al Ayyubi telah menyerah kalah, lalu mereka menerima perdamaian ini dengan sombong.
Sultan sudah mengira bahwa orang-orang Kristian itu akan mengkhianati
perjanjian, maka ini akan menjadi alasan bagi beliau untuk melancarkan
serangan. Untuk ini, beliau telah membuat persiapan secukupnya.
Ternyata memang betul, baru sebentar perjanjian ditanda tangani, kaum Salib telah mengadakan pelanggaran.
Maka Sultan Shalahuddin Al Ayyubi, segera bergerak
melancarkan serangan, tapi kali ini masih gagal dan beliau sendiri
hampir kena tawan. Beliau kembali ke markasnya dan menyusun kekuatan
yang lebih besar.
Suatu kejadian yang mengejutkan Sultan ialah, dalam suasana perdamaian
itu tiba-tiba tindakan seorang panglima Salib bernama Count Rainald de
Chatillon (Renaud de Châtillon) yang bergerak dengan pasukannya untuk
menyerang kota Suci Makkah dan Madinah. Akan tetapi pasukan ini hancur
binasa digempur mujahid Islam di laut Merah dan Count Rainald serta sisa
pasukannya balik ke Jerussalem.
Dalam perjalanan, mereka berjumpa dengan satu iring-iringan kafilah kaum
Muslimin yang didalamnya terdapat seorang saudara perempuan Sultan Shalahuddin Al Ayyubi.
Tanpa berfikir panjang, Count Rainald de Chatillon (Renaud de Châtillon)
dan pasukannya menyerang kafilah tersebut dan menawan mereka termasuk
saudara perempuan Shalahuddin.
Dengan angkuh Count berkata: “Apakah Muhammad, Nabi mereka itu mampu datang untuk menyelamatkan mereka?”
Seorang anggota kafilah yang dapat meloloskan diri terus lari dan melapor kepada Sultan perihal apa yang telah terjadi.
Sultan sangat marah terhadap penghianatan gencatan senjata itu dan
mengirim utusan ke Jerussalem agar semua tawanan dibebaskan. Tapi mereka
tidak memberikan jawaban.
Dengan kejadian ini, Sultan keluar membawa pasukannya untuk menghukum
kaum Salib yang sering mengkhianati janji itu. Terjadilah pertempuran
yang sangat besar di gunung Hittin sehingga dikenal dengan Perang
Hittin.
Dalam pertempuran ini, Shalahuddin Al Ayyubi menang
besar. Pasukan musuh yang berjumlah 45,000 orang hancur binasa dan hanya
tinggal beberapa ribu saja yang sebagian besarnya menjadi tawanan
termasuk Count Rainald de Chatillon sendiri.
Semuanya diangkut ke Damaskus. Count Rainald yang telah menawan saudara
perempuan Sultan dan menghina Nabi Muhammad SAW itu digiring ke hadapan
beliau.
“Nah, apa yang telah kau saksikan sekarang, Apakah saya tidak cukup
menjadi pengganti Nabi Besar Muhammad SAW untuk melakukan pembalasan
terhadap berbagai penghinaanmu itu?” tanya Sultan Shalahuddin Al Ayyubi.
Shalahuddin Al Ayyubi mengajak Count agar masuk Islam, tapi dia tidak mau. Maka dia pun dihukum bunuh kerana telah menghina Nabi Muhammad SAW.
Setelah melalui berbagai peperangan dan menaklukkan berbagai benteng dan kota, sampailah Sultan Shalahuddin Al Ayyubi pada tujuan utamanya yaitu merebut Baitul Maqdis.
Beliau mengepung Jerussalem selama empat puluh hari yang membuat
penduduk di dalam kota itu tidak dapat berbuat apa-apa dan kekurangan
keperluan makanan.
Waktu itu Jerussalem dipenuhi dengan kaum pelarian dan orang-orang yang
selamat dalam perang Hittin. Tentara pertahanannya sendiri tidak kurang
dari 60,000 orang.
Pada mulanya Sultan Shalahuddin Al Ayyubi menyerukan
agar kota Suci itu diserahkan secara damai. Beliau tidak ingin bertindak
seperti yang dilakukan oleh Godfrey dan orang-orangnya pada tahun 1099
untuk membalas dendam.
Akan tetapi pihak Kristian telah menolak tawaran baik dari Sultan,
bahkan mereka mengangkat Komandan Perang untuk mempertahankan kota itu.
Karena mereka menolak seruan, maka Sultan Shalahuddin Al Ayyubi
pun bersumpah akan membunuh semua orang Kristian di dalam kota itu
sebagai membalas dendam ke atas peristiwa 90 tahun yang lalu. Mulailah
pasukan kaum Muslimin melancarkan serangan ke atas kota itu dengan anak
panah dan manjanik.
Kaum Salib membalas serangan itu dari dalam benteng. Setelah berlangsung
serangan selama empat belas hari, kaum Salib melihat bahwa pintu
benteng hampir musnah oleh serangan kaum Muslimin.
Para pemimpin kaum Salib mulai merasa takut melihat kegigihan dan
kekuatan pasukan Muslim yang hanya tinggal menunggu waktu untuk masuk.
Beberapa pemimpin Kristian telah keluar menemui Sultan Shalahuddin Al Ayyubi menyatakan hasratnya untuk menyerahkan kota Suci secara aman dan minta agar nyawa mereka diselamatkan.
Akan tetapi Sultan menolak sambil berkata:
“Aku tidak akan menaklukkan kota ini kecuali dengan kekerasan
sebagaimana kamu dahulu menaklukinya dengan kekerasan. Aku tidak akan
membiarkan seorang Kristian pun melainkan akan kubunuh sebagaimana
engkau membunuh semua kaum Muslimin di dalam kota ini dahulu.”
Setelah usaha diplomatik mereka tidak berhasil, Datuk Bandar Jerussalem
sendiri datang menghadap Sultan dengan merendah diri dan minta
dikasihani, membujuk dan merayu dengan segala cara. Sultan Shalahuddin Al Ayyubi tidak menjawabnya.
Akhirnya ketua Kristian itu berkata:
“Jika tuan tidak mau berdamai dengan kami, kami akan balik dan membunuh
semua tahanan (terdiri dari kaum Muslimin sebanyak 4000 orang) yang ada
pada kami. Kami juga akan membunuh anak cucu kami dan
perempuan-perempuan kami. Setelah itu kami akan binasakan rumah-rumah
dan bangunan-bangunan yang indah-indah, semua harta dan perhiasan yang
ada pada kami akan dibakar. Kami juga akan memusnahkan Kubah Shahra’,
kami akan hancurkan semua yang ada sehingga tidak ada apa-apa lagi yang
bisa dimanfaatkan. Selepas itu, kami akan keluar untuk berperang
mati-matian, karena sudah tidak ada apa-apa lagi yang kami harapkan
selepas ini. Tidak seorang pun boleh membunuh kami sehingga sebilangan
orang-orang tuan yang terbunuh terlebih dahulu. Nah, jika demikian
keadaannya, kebaikan apalagi yang bisa tuan harapkan?”
Setelah mendengar kata-kata itu, Sultan Shalahuddin Al Ayyubi
menjadi lembut dan kasihan dan bersedia untuk memberikan keamanan.
Beliau meminta nasihat para ulama yang mendampinginya mengenai sumpah
berat yang telah diucapkannya. Para ulama mengatakan bahawa beliau mesti
menebus sumpahnya dengan membayar Kifarat sebagaimana yang telah
disyariatkan.
Maka berlangsunglah penyerahan kota secara aman dengan syarat setiap
penduduk mesti membayar uang tebusan. Bagi lelaki wajib membayar sepuluh
dinar, perempuan lima dinar dan anak-anak dua dinar saja.
Barangsiapa yang tidak mampu membayar tebusan, akan menjadi tawanan kaum
Muslimin dan berkedudukan sebagai hamba. Semua rumah, senjata dan
alat-alat peperangan lainnya mesti ditinggalkan untuk kaum Muslimin.
Mereka boleh pergi ke mana-mana tempat yang aman untuk mereka. Mereka
diberi tempo selama empat puluh hari untuk memenuhi syarat-syaratnya,
dan Barangsiapa yang tidak sanggup menunaikannya melewati dari waktu
itu, ia akan menjadi tawanan.
Ternyata ada 16,000 orang Kristian yang tidak sanggup membayar uang tebusan. Semua mereka ditahan sebagai hamba.
Maka pada hari Jumaat 27 Rajab 583 Hijrah, Sultan Shalahuddin bersama
kaum Muslimin memasuki Baitul Maqdis. Mereka melaungkan “Allahu Akbar”
dan bersyukur kehadirat Allah SWT.
Air mata kegembiraan menitis di setiap pipi kaum Muslimin saat memasuki kota itu.
Para ulama dan solehin datang mengucapkan tahniah kepada Sultan Shalahuddin Al Ayyubi
di atas perjuangannya yang telah berhasil. Apalagi tanggal tersebut
bersamaan dengan tarikh Isra’ Mi`raj Nabi Muhammad SAW dari Masjidil
Haram ke Masjidil Aqsa.
Pada hari Jumat tersebut, kaum Muslimin tidak sempat melaksankan sholat
Jumat di Masjidil Aqsa karena sempitnya waktu. Mereka terpaksa
membersihkan Masjid Suci itu dari babi, kayu-kayu salib, gambar-gambar
rahib dan patung-patung yang dipertuhankan oleh kaum Kristian.
Barulah pada Jumat berikutnya mereka melaksanakan solat Jumat di Masjidil Aqsa buat pertama kalinya dalam masa 92 tahun.
Muhyiddin bin Muhammad bin Ali bin Zaki telah bertindak selaku khatib atas izin Sultan Shalahuddin Al Ayyubi.
Kejatuhan Jerussalem ke tangan kaum Muslimin telah membuat Eropa marah.
Mereka melancarkan kutipan yang disebut “Saladin tithe”, yakni derma
wajib untuk melawan Shalahuddin yang hasilnya digunakan untuk membiayai
perang Salib.
Dengan angkatan perang yang besar, beberapa orang raja Eropa berangkat
untuk merebut kota Suci itu. Maka terjadilah perang Salib ketiga yang
sangat sengit.
Namun demikian, Shalahuddin Al Ayyubi masih dapat mempertahankan Jerussalem sehingga perang tamat.
Setahun selepas perang Salib ke tiga itu, Sultan Shalahuddin Al Ayyubi pulang ke Rahmatullah (Semoga ALLOH SWT melimpahkan rahmat ke atasnya, amin).
http://kreasimasadepan441.blogspot.com/2017/12/lionel-messi-dan-trio-baru-barcelona.html
BalasHapushttp://kreasimasadepan441.blogspot.com/2017/12/gunung-sinabung-meletus-warga-diimbau.html
http://kreasimasadepan441.blogspot.com/2017/12/aneka-destinasi-untuk-liburan-akhir.html
Tunggu Apa Lagi Guyss..
Let's Join With Us At vipkiukiu .net ^^
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami :
- BBM : D8809B07 / 2B8EC0D2
- WHATSAPP : +62813-2938-6562
- LINE : DOMINO1945.COM