Selasa, 17 Desember 2013

Kisah Shalahuddin Al Ayyubi ( Cerita Perang Salib )

 
Shalahuddin Al Ayyubi atau juga dipanggil Saladin atau Salah ad-Din (Dalam Bahasa Arab: صلاح الدين الأيوبي, dalam bahasa Kurdi: صلاح الدین ایوبی) (Sholahhuuddin al ayyubi) (c. 1138 - 4 Maret 1193) adalah seorang jendral dan pejuang muslim Kurdi dari Tikrit (daerah utara Irak saat ini). 
Beliau mendirikan Dinasti Ayyubiyyah di Mesir, Suriah, sebagian Yaman, Irak, Mekkah Hejaz dan Diyar Bakr. Shalahuddin Al Ayyubi terkenal di dunia Muslim dan Kristen karena kepemimpinannya, kekuatan militer, sifat-sifatnya yang ksatria dan pengampun pada saat ia berperang melawan tentara salib. 
Sultan Shalahuddin Al Ayyubi juga adalah seorang ulama. Ia memberikan catatan kaki dan berbagai macam penjelasan dalam kitab hadits Abu Dawud.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab (13-23 H/634-644 M) Jerussalam dapat dikuasai oleh kaum muslimin dalam suatu penyerahan kuasa secara damai. Sayidina Umar sendiri datang ke Jerussalem untuk menerima penyerahan kota Suci itu atas desakan dan persetujuan Uskup Agung Sophronius.
Berabad abad lamanya kota itu berada di bawah kepengurusan Islam, tapi penduduknya bebas memeluk agama dan melaksanakan ajaran agamanya masing-masing tanpa ada gangguan. Orang-orang Kristian dari seluruh dunia juga bebas datang untuk mengerjakan haji di kota Suci itu dan mengerjakan upacara keagamaannya.
Orang-orang Kristian dari Eropa datang mengerjakan haji dalam jumlah rombongan yang besar dengan membawa obor dan pedang seperti tentara. Sebagian dari mereka mempermainkan pedang dengan dikelilingi pasukan gendang dan seruling dan diiringi pula oleh pasukan bersenjata lengkap.
Sebelum Jerussalem dibawah kepengurusan Kerajaan Seljuk pada tahun 1070, upacara seperti itu dibiarkan saja oleh umat Islam, karena dasar toleransi agama. Setelah Kerajaan Seljuk memerintah, upacara seperti itu dilarang dengan alasan keselamatan. Mungkin karena upacara tersebut semakin berbahaya. Lebih-lebih lagi kumpulan-kumpulan yang mengambil bagian dalam upacara itu sering menyebabkan kegaduhan dan huru-hara. 
Disebutkan bahwa pada tahun 1064 ketua Uskup memimpin pasukan sebanyak 7000 orang jemaah haji yang terdiri dari kumpulan Baron-baron dan para pahlawan telah menyerang orang-orang Arab dan orang-orang Turki.
Tindakan Seljuk itu menjadi salah anggapan oleh orang-orang Eropa. Pemimpin-pemimpin agama mereka menganggap bahwa kebebasan agamanya diganggu oleh orang-orang Islam dan menyeru agar Tanah Suci itu dibebaskan dari genggaman umat Islam. 
Patriach Ermite (Peter The Hermit) adalah salah seorang paderi yang paling lantang membangkitkan kemarahan umat Kristian. Dalam usahanya untuk menarik simpati umat Kristian, Ermite telah berkeliling Eropa dengan mengendarai seekor keledai sambil memikul kayu Salib besar, berkaki ayam dan berpakaian compang camping. Dia berpidato di hadapan khalayak ramai, di dalam gereja, di jalan-jalan raya atau di pasar-pasar. 
Katanya, dia melihat penghinaan kesucian ke atas kubur Nabi Isa oleh Kerajaan Turki Seljuk. Diceritakan bahwa jemaah haji Kristian telah dihina, dizalimi dan dinista oleh orang-orang Islam di Jerussalem. Bersamaan dengan itu, dia menghasut orang ramai agar bangkit untuk berperang demi membebaskan Jerussalem dari tangan orang Islam dan hasutan Ermite berhasil.
Keluarlah fatwa Paus Urbanus II (Pope Urban 2) yang mengumumkan ampunan seluruh dosa bagi yang bersedia dengan suka rela mengikuti Perang Suci itu, sekalipun sebelumnya dia merupakan seorang perompak, pembunuh, pencuri dan sebagainya. 
Maka keluarlah ribuan umat Kristian untuk mengikuti perang dengan memikul senjata untuk ikut perang Suci. Mereka yang ingin mengikuti perang ini diperintahkan agar meletakkan tanda Salib di badannya, oleh karena itulah perang ini disebut Perang Salib.
Paus Urbanus menetapkan 15 agustus 1095 bagi pemberangkatan tentara Salib menuju Timur Tengah, tapi kalangan awam sudah tidak sabar menunggu lebih lama lagi setelah dijanjikan dengan berbagai kebebasan, kemewahan dan berlimpahnya makanan. 
Mereka mendesak Paderi Patriach Ermite agar berangkat memimpin mereka. Maka Ermite pun berangkat dengan 60,000 orang pasukan, kemudian disusul oleh kaum tani dari Jerman seramai 20.000, datang lagi 200,000 orang menjadikan jumlah keseluruhannya 300,000 orang lelaki dan perempuan. Sepanjang perjalanan, mereka di izinkan merompak, memperkosa, berzina dan mabuk-mabuk. Setiap penduduk negeri yang dilaluinya, selalu mengalu-alukan dan memberikan bantuan seperlunya.
Akan tetapi sesampainya di Hongaria dan Bulgaria, sambutan sangat dingin, menyebabkan pasukan Salib yang sudah kekurangan makanan ini marah dan merampas harta benda penduduk. Penduduk di dua negeri ini tidak tinggal diam. Walau pun mereka sama-sama beragama Kristian, mereka tidak senang dan menuntut balas. 
Terjadilah pertempuran sengit dan pembunuhan yang mengerikan. Dari 300,000 orang pasukan Salib itu hanya 7000 saja yang selamat sampai di Semenanjung Thracia di bawah pimpinan sang Rahib.
 
Ketika pasukan Salib itu telah mendarat di pantai Asia kecil, pasukan kaum Muslimin yang di pimpin oleh Sultan Kalij Arselan telah menyambutnya dengan ayunan pedang. Maka terjadilah pertempuran sengit antara kaum Salib dengan pasukan Islam yang berakhir dengan hancur binasanya seluruh pasukan Salib itu.
Setelah kaum itu musnah sama sekali, muncullah pasukan Salib yang dipimpin oleh anak-anak Raja Godfrey dari Lorraine Perancis, Bohemund dari Normandy dan Raymond dari Toulouse. Mereka berkumpul di Konstantinopel dengan kekuatan 150,000 laskar, kemudian menyeberang selat Bosfur dan menyerbu Islam bagaikan air bah. Pasukan kaum Muslimin yang hanya berkekuatan 50,000 orang bertahan mati-matian di bawah pimpinan Sultan Kalij Arselan.
Satu persatu kota dan Benteng kaum Muslimin jatuh ke tangan kaum Salib, memaksa Kalij Arselan berundur dari satu benteng ke benteng yang lain sambil menyusun kekuatan dan taktik baru. Bala bantuan kaum Salib datang bergelombang-gelombang dari negara-negara Eropa. Sedangkan Kalij Arselan tidak dapat mengharapkan bantuan dari wilayah-wilayah Islam yang lain, karena mereka sibuk dengan kemelut dalam negeri masing-masing.
 
Setelah berlangsung pertempuran sekian lama, akhirnya kaum Salib dapat mengepung Baitul Maqdis, tapi penduduk kota Suci itu tidak mau menyerah kalah begitu saja. Mereka telah berjuang dengan jiwa raga mempertahankan kota Suci itu selama satu bulan. 
Akhirnya pada 15 Juli 1099, Baitul Maqdis jatuh ke tangan pasukan Salib, tercapailah cita-cita mereka. Berlaangsunglah keganasan luar biasa yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia. 
Kaum Kristian itu menyembelih penduduk, perempuan dan anak-kanak dengan sangat ganasnya. Mereka juga membantai orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristian yang enggan bergabung dengan kaum Salib. Keganasan kaum Salib Kristian yang sangat melampau itu dikutuk dan dikatakan oleh para saksi dan penulis sejarah yang terdiri dari berbagai agama dan bangsa.
Seorang ahli sejarah Perancis, Joseph François Michaud berkata: 
“Pada saat penaklukan Jerussalem oleh orang Kristian tahun 1099, orang-orang Islam dibantai di jalan-jalan dan di rumah-rumah. Jerussalem tidak punya tempat lagi bagi orang-orang yang kalah itu. Beberapa orang mencoba mengelak dari kematian dengan cara menghendap-hendap dari benteng, yang lain berkerumun di istana dan berbagai menara untuk mencari perlindungan terutama di masjid-masjid. Namun mereka tetap tidak dapat menyembunyikan diri dari pengejaran orang-orang Kristian itu."
 
Tentara Salib yang menjadi tuan di Masjid Umar, di mana orang-orang Islam mencoba mempertahankan diri selama beberapa lama menambahkan lagi adegan-adegan yang mengerikan yang menodai penaklukan Titus. Tentera infanteri dan kaveleri lari tunggang langgang di antara para buruan. Di tengah huru-hara yang mengerikan itu yang terdengar hanya rintihan dan jeritan kematian. Orang-orang yang menang itu memijak-mijak tumpukan mayat ketika mereka lari mengejar orang yang cuba menyelamatkan diri dengan sia-sia.
Raymond d’Agiles, yang menyaksikan peristiwa itu dengan mata kepalanya sendiri mengatakan: 
“Di bawah serambi masjid yang melengkung itu, genangan darah dalamnya mencecah lutut dan mencapai tali kekang kuda.”
Michaud berkata: “Semua yang tertangkap yang disisakan dari pembantaian pertama, semua yang telah diselamatkan untuk mendapatkan upeti, dibantai dengan kejam. Orang-orang Islam itu dipaksa terjun dari puncak menara dan atap-atap rumah, mereka dibakar hidup-hidup,diseret dari tempat persembunyian bawah tanah, diseret ke hadapan umum dan dikorbankan di tiang gantungan.
Air mata wanita, tangisan anak-kanak, begitu juga pemandangan dari tempat Yesus Kristus memberikan ampun kepada para algojonya, sama sekali tidak dapat meredakan nafsu membunuh orang-orang yang menang itu. Penyembelihan itu berlangsung selama seminggu. Beberapa orang yang berhasil melarikan diri, dimusnahkan atau dijadikan budak untuk kerja paksa yang mengerikan.”
Gustav Le Bon telah menyiratkan penyembelihan kaum Salib Kristian tersebut dalam kata-katanya: 
“Kaum Salib kita yang “bertakwa” itu melakukan berbagai bentuk kezaliman, kerusakan dan penganiayaan, mereka kemudian mengadakan suatu mufakat yang memutuskan supaya dibunuh saja semua penduduk Baitul Maqdis yang terdiri dari kaum Muslimin dan bangsa Yahudi serta orang-orang Kristian yang tidak memberikan pertolongan kepada mereka yang jumlah mencapai 60,000 orang. Orang-orang itu telah dibunuh semua dalam masa 8 hari saja termasuk perempuan, kanak-kanak dan orang tua, tidak seorang pun yang terkecuali.
 
Ahli sejarah Kristian yang lain, Mill, mengatakan: 
“Ketika itu diputuskan bahawa rasa kasihan tidak boleh diperlihatkan terhadap kaum Muslimin. Orang-orang yang kalah itu diseret ke tempat-tempat umum dan dibunuh. Semua kaum wanita yang sedang menyusui, anak-anak gadis dan anak-anak lelaki dibantai dengan kejam. Tanah lapang, jalan-jalan, bahkan tempat-tempat yang tidak berpenghuni di Jerusssalem ditaburi oleh mayat-mayat wanita dan lelaki, dan tubuh anak-kanak yang terkoyak. Tidak ada hati yang lebur dalam keharuan atau yang tergerak untuk berbuat kebajikan melihat peristiwa mengerikan itu.”
Jatuhnya kota Suci Baitul Maqdis ke tangan kaum Salib telah mengejutkan para pemimpin Islam. Mereka tidak menyangka kota Suci yang telah dikuasainya selama lebih 500 tahun itu bisa terlepas dalam sekejap mata. Mereka sadar akan kekilafan mereka karena terpecah-belah. Para ulama telah berbincang dengan para Sultan, Emir dan Khalifah agar tindakan berat dalam perkara ini.Usaha mereka berhasil. Setiap penguasa negara Islam itu bersedia bergabung tenaga untuk merampas balik kota Suci tersebut. 
Di antara pemimpin yang paling gigih dalam usaha menghalau tentara Salib itu ialah Imamuddin Zanki dan diteruskan oleh anaknya Emir Nuruddin Zanki dengan dibantu oleh panglima Asasuddin Syirkuh.
Setelah hampir empat puluh tahun kaum Salib menduduki Baitul Maqdis, Shalahuddin Al Ayyubi baru lahir ke dunia. Keluarga Shalahuddin taat beragama dan berjiwa pahlawan. 
Ayahnya, Najmuddin Ayyub adalah seorang yang termasyhur dan beliau pulalah yang memberikan pendidikan awal kepada Shalahuddin Al Ayyubi. Sholahuddin Yusuf bin Najmuddin Ayyub dilahirkan di Takrit Irak pada tahun 532 Hijrah /1138 Masihi dan wafat pada tahun 589 H/1193 M di Damsyik. 
Shalahuddin Al Ayyubi terlahir dari keluarga Kurdish di kota Tikrit (140km barat laut kota Baghdad) dekat sungai Tigris pada tahun 1137M. Masa kecilnya selama sepuluh tahun dihabiskan belajar di Damaskus di lingkungan anggota dinasti Zangid yang memerintah Syria, yaitu Nuruddin Zangi.
Selain belajar Islam, Shalahuddin Al Ayyubi pun mendapat pelajaran kemiliteran dari pamannya Asaddin Shirkuh, seorang panglima perang Turki Seljuk. 
Bersama dengan pamannya, Shalahuddin Al Ayyubi menguasai Mesir, dan mendeposisikan sultan terakhir dari kekhalifahan Fatimiah (turunan dari Fatimah Az-Zahra, putri Nabi Muhammad SAW).
Pada tahun 549 H/1154 M, panglima Asasuddin Syirkuh memimpin tentaranya merebut dan menguasai Damsyik. Shalahuddin Al Ayyubi yang ketika itu baru berusia 16 tahun turut serta sebagai pejuang. 
Pada tahun 558 H/1163 Masihi, panglima Asasuddin membawa Shalahuddin Al Ayyubi yang ketika itu berusia 25 tahun untuk menundukkan Daulat Fatimiyah di Mesir yang diperintah oleh Aliran Syi`ah Ismailiyah yang semakin lemah.
Usahanya berhasil. Khalifah Daulat Fatimiyah terakhir Adhid Lidinillah dipaksa oleh Asasuddin Syirkuh untuk menandatangani perjanjian. Akan tetapi, Perdana Menteri Shawar merasa iri melihat Syirkuh semakin populer di kalangan istana dan rakyat.
Dengan sembunyi-sembunyi dia pergi ke Baitul Maqdis dan meminta bantuan dari pasukan Salib untuk menghalau Syirkuh dari Mesir. 
Pasukan Salib yang dipimpin oleh King Almeric dari Jerussalem menerima baik jemputan itu. Maka terjadilah pertempuran antara pasukan Asasuddin dengan King Almeric yang berakhir dengan kekalahan Asasuddin. Setelah menerima syarat-syarat damai dari kaum Salib, panglima Asasuddin dan Shalahuddin Al Ayyubi diperbolehkan balik ke Damsyik.
Kerjasama perdana menteri Shawar dengan orang King Almeric itu telah menimbulkan kemarahan Emir Nuruddin Zanki dan para pemimpin Islam lainnya termasuk Baghdad. 
Lalu dipersiapkannya tentara besar yang dipimpin oleh panglima Syirkuh dan Shalahuddin Al Ayyubi untuk menghukum si pengkhianat Shawar. 
King Almeric terburu-buru menyiapkan pasukannya untuk melindungi Wazir Shawar setelah mendengar kemarahan pasukan Islam. Akan tetapi Panglima Syirkuh kali ini berhasil membinasakan pasukan King Almeric dan menghalaunya dari bumi Mesir.
Panglima Shyirkuh dan Shalahuddin Al Ayyubi terus masuk ke ibu kota Kaherah dan mendapat perlawanan dari pasukan Wazir Shawar. Akan tetapi pasukan Shawar hanya dapat bertahan sebentar saja, dia sendiri melarikan diri dan bersembunyi. Khalifah Al-Adhid Lidinillah terpaksa menerima dan menyambut kedatangan panglima Syirkuh untuk kedua kalinya.
Suatu hari panglima Shalahuddin Al Ayyubi berziarah ke kuburan seorang wali Allah di Mesir, ternyata Wazir Besar Shawar dijumpai bersembunyi di situ. Shalahuddin Al Ayyubi segera menangkap Shawar, dibawa ke istana dan kemudian dihukum bunuh.
Khalifah Al-Adhid melantik panglima Asasuddin Syirkuh menjadi perdana menteri menggantikan Shawar. Perdana menteri Baru itu segera melakukan perbaikan dan pembersihan pada setiap institusi kerajaan secara berperingkat. Sementara anak saudaranya, panglima Shalahuddin Al Ayyubi diperintahkan membawa pasukannya mengadakan pembersihan di kota-kota sepanjang sungai Nil sehingga Assuan di sebelah utara dan bandar-bandar lain termasuk bandar perdagangan Iskandariah.
Perdana Menteri Syirkuh tidak lama memegang jawatannya, karena beliau wafat pada tahun 565 H/1169 M. Khalifah Al-Adhid melantik panglima Shalahuddin Al Ayyubi menjadi pengganti Syirkuh dengan mendapat persetujuan pembesar-pembesar Kurdi dan Turki. Namun Walaupun berkhidmat di bawah Khalifah Daulat Fatimiah, Shalahuddin tetap  menganggap Emir Nuruddin Zanki sebagai ketuanya.
Nuruddin Zanki berulang kali mendesak Shalahuddin Al Ayyubi agar menangkap Khalifah Al-Adhid dan mengakhiri kekuasaan Daulat Fatimiah untuk seterusnya diserahkan kembali kepada Daulat Abbasiah di Baghdad. 
Akan tetapi Shalahuddin Al Ayyubi tidak mau bertindak terburu-buru, beliau memperhatikan keadaan sekelilingnya sehingga musuh-musuh dalam selimut betul-betul lumpuh.
Barulah pada tahun 567 H/1171 Masihi, Shalahuddin mengumumkan penutupan Daulat Fatimiah dan kekuasaan diserahkan semula kepada Daulat Abbasiah. Maka doa untuk Khalifah Al-Adhid pada khutbah Jumaat hari itu telah ditukar kepada doa untuk Khalifah Al-Mustadhi dari Daulat Abbasiah.
Ketika pengumuman peralihan kuasa itu dibuat, Khalifah Al-Adhid sedang sakit kuat, sehingga beliau tidak mengetahui perubahan besar yang berlaku di dalam negerinya dan tidak mendengar bahawa Khatib Jumaat sudah tidak mendoakan dirinya lagi. 
Sehari selepas pengumuman itu, Khalifah Al-Adhid wafat dan dikebumikan sebagaimana kedudukan sebelumnya, yakni sebagai Khalifah.
Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Daulat Fatimyah yang dikuasai oleh kaum Syi’ah selama 270 tahun. Keadaan ini memang telah lama ditunggu-tunggu oleh golongan Ahlussunnah di seluruh negara Islam lebih-lebih lagi di Mesir sendiri. 
Apalagi setelah perdana menteri Shawar berkomplot dengan kaum Salib musuh Islam. Pengembalian kekuasaan kepada golongan Sunni itu telah disambut meriah di seluruh wilayah-wilayah Islam, lebih-lebih di Baghdad dan Syiria atas restu Khalifah Al-Mustadhi dan Emir Nuruddin Zanki.
Mereka sangat berterima kasih kepada Panglima Shalahuddin Al Ayyubi yang dengan kebijaksanaan dan kepintarannya telah menukar suasana itu secara aman dan damai.
Serentak dengan itu pula, Perdana Menteri Shalahuddin Al Ayyubi telah meresmikan Universitas Al-Azhar yang selama ini dikenal sebagai pusat pengajian Syiah kepada pusat pengajian Ahlussunnah Wal Jamaah (Semoga ALLOH SWT membalas jasa-jasa Shalahuddin Al Ayyubi).
Walaupun sangat pintar dan bijak mengatur strategi dan berani di medan tempur, Shalahuddin Al Ayyubi berhati lembut, tidak mau menipu atasan demi kekuasaan dunia. 
Beliau tetap setia pada atasannya, tidak mau merampas kekuasaan untuk kepentingan peribadi. Karena apa yang dikerjakannya selama ini hanyalah mencari peluang untuk menghalau tentara Salib dari bumi Jerussalem. 
Untuk tujuan ini, beliau berusaha menyatukan wilayah-wilyah Islam terlebih dahulu, kemudian menghapuskan para pengkhianat agama dan negara agar peristiwa perdana menteri Shawar tidak berulang lagi.
Di Mesir, beliau telah berkuasa penuh, tapi masih tetap  taat setia pada kepimpinan Nuruddin Zanki dan Khalifah di Baghdad. Tahun 1173 M, Emir Nuruddin Zanki wafat dan digantikan oleh puteranya, Ismail, yang ketika itu baru berusia 11 tahun dan bergelar Mulk al Shalih. 
Para ulama dan pembesar menginginkan agar Emir Shalahuddin Al Ayyubi mengambil alih kuasa karena tidak suka kepada Mulk al-Shalih karena banyak melalaikan tanggung-jawabnya dan suka bersenang-senang. 
Akan tetapi Shalahuddin Al Ayyubi tetap taat setia dan mendoakan Mulk al Saleh dalam setiap khutbah Jumaat, bahkan mengabadikannya pada mata wang syiling.
Saat Damsyik terdesak oleh serangan kaum Salib, barulah Shalahuddin Al Ayyubi menggerakkan pasukannya ke Syiria untuk mempertahankan kota itu dari kejatuhan. 
Tidak lama kemudian Ismail wafat, maka Shalahuddin Al Ayyubi menyatukan Syria dengan Mesir dan menobatkan Emirat Al-Ayyubiyah dengan beliau sendiri sebagai Emirnya yang pertama. 
Tak berapa lama kemudian, Sultan Shalahuddin Al Ayyubi dapat menggabungkan negeri-negeri An-Nubah, Sudan, Yaman dan Hijaz ke dalam kekuasaannya yang besar. 
Negara di Afirka yang telah diduduki oleh laskar Salib dari Normandy, juga telah dapat direbutnya dalam masa yang singkat. 
Dengan ini kekuasaan Shalahuddin Al Ayyubi telah cukup besar dan kekuatan tentaranya cukup untuk mengusir tentara Kristian yang menduduki Baitul Maqdis selama berpuluh tahun.
Sifatnya yang lemah lembut, zuhud, wara’ dan sederhana membuat kaum Muslimin di bawah kekuasaannya sangat mencintainya. Demikian juga para ulama sentiasa mendoakannya agar cita-cita sucinya untuk merampas semula Tanah Suci berhasil dengan segera.
Setelah merasa kuat, Sultan Shalahuddin Al Ayyubi memfokuskan perhatiannya untuk memusnahkan tentara Salib yang menduduki Baitul Maqdis dan merebut kota Suci itu semula. 
Banyak rintangan dan problem yang dialami oleh Sultan sebelum maksudnya tercapai. Siasat yang mula-mula dijalankannya adalah mengajak tentara Salib untuk berdamai. 
Pada lahirnya, kaum Salib memandang bahwa Shalahuddin Al Ayyubi telah menyerah kalah, lalu mereka menerima perdamaian ini dengan sombong. 
Sultan sudah mengira bahwa orang-orang Kristian itu akan mengkhianati perjanjian, maka ini akan menjadi alasan bagi beliau untuk melancarkan serangan. Untuk ini, beliau telah membuat persiapan secukupnya.
Ternyata memang betul, baru sebentar perjanjian ditanda tangani, kaum Salib telah mengadakan pelanggaran. 
Maka Sultan Shalahuddin Al Ayyubi, segera bergerak melancarkan serangan, tapi kali ini masih gagal dan beliau sendiri hampir kena tawan. Beliau kembali ke markasnya dan menyusun kekuatan yang lebih besar.
Suatu kejadian yang mengejutkan Sultan ialah, dalam suasana perdamaian itu tiba-tiba tindakan seorang panglima Salib bernama Count Rainald de Chatillon (Renaud de Châtillon) yang bergerak dengan pasukannya untuk menyerang kota Suci Makkah dan Madinah. Akan tetapi pasukan ini hancur binasa digempur mujahid Islam di laut Merah dan Count Rainald serta sisa pasukannya balik ke Jerussalem. 
Dalam perjalanan, mereka berjumpa dengan satu iring-iringan kafilah kaum Muslimin yang didalamnya terdapat seorang saudara perempuan Sultan Shalahuddin Al Ayyubi
Tanpa berfikir panjang, Count Rainald de Chatillon (Renaud de Châtillon) dan pasukannya menyerang kafilah tersebut dan menawan mereka termasuk saudara perempuan Shalahuddin.
Dengan angkuh Count berkata: “Apakah Muhammad, Nabi mereka itu mampu datang untuk menyelamatkan mereka?”
Seorang anggota kafilah yang dapat meloloskan diri terus lari dan melapor kepada Sultan perihal apa yang telah terjadi. 
Sultan sangat marah terhadap penghianatan gencatan senjata itu dan mengirim utusan ke Jerussalem agar semua tawanan dibebaskan. Tapi mereka tidak memberikan jawaban.
Dengan kejadian ini, Sultan keluar membawa pasukannya untuk menghukum kaum Salib yang sering mengkhianati janji itu. Terjadilah pertempuran yang sangat besar di gunung Hittin sehingga dikenal dengan Perang Hittin.
Dalam pertempuran ini, Shalahuddin Al Ayyubi menang besar. Pasukan musuh yang berjumlah 45,000 orang hancur binasa dan hanya tinggal beberapa ribu saja yang sebagian besarnya menjadi tawanan termasuk Count Rainald de Chatillon sendiri. 
Semuanya diangkut ke Damaskus. Count Rainald yang telah menawan saudara perempuan Sultan dan menghina Nabi Muhammad SAW itu digiring ke hadapan beliau.
“Nah, apa yang telah kau saksikan sekarang, Apakah saya tidak cukup menjadi pengganti Nabi Besar Muhammad SAW untuk melakukan pembalasan terhadap berbagai penghinaanmu itu?” tanya Sultan Shalahuddin Al Ayyubi.
Shalahuddin Al Ayyubi mengajak Count agar masuk Islam, tapi dia tidak mau. Maka dia pun dihukum bunuh kerana telah menghina Nabi Muhammad SAW.
Setelah melalui berbagai peperangan dan menaklukkan berbagai benteng dan kota, sampailah Sultan Shalahuddin Al Ayyubi pada tujuan utamanya yaitu merebut Baitul Maqdis.
Beliau mengepung Jerussalem selama empat puluh hari yang membuat penduduk di dalam kota itu tidak dapat berbuat apa-apa dan kekurangan keperluan makanan. 
Waktu itu Jerussalem dipenuhi dengan kaum pelarian dan orang-orang yang selamat dalam perang Hittin. Tentara pertahanannya sendiri tidak kurang dari 60,000 orang.
Pada mulanya Sultan Shalahuddin Al Ayyubi menyerukan agar kota Suci itu diserahkan secara damai. Beliau tidak ingin bertindak seperti yang dilakukan oleh Godfrey dan orang-orangnya pada tahun 1099 untuk membalas dendam. 
Akan tetapi pihak Kristian telah menolak tawaran baik dari Sultan, bahkan mereka mengangkat Komandan Perang untuk mempertahankan kota itu. Karena mereka menolak seruan, maka Sultan Shalahuddin Al Ayyubi pun bersumpah akan membunuh semua orang Kristian di dalam kota itu sebagai membalas dendam ke atas peristiwa 90 tahun yang lalu. Mulailah pasukan kaum Muslimin melancarkan serangan ke atas kota itu dengan anak panah dan manjanik.
Kaum Salib membalas serangan itu dari dalam benteng. Setelah berlangsung serangan selama empat belas hari, kaum Salib melihat bahwa pintu benteng hampir musnah oleh serangan kaum Muslimin. 
Para pemimpin kaum Salib mulai merasa takut melihat kegigihan dan kekuatan pasukan Muslim yang hanya tinggal menunggu waktu untuk masuk. Beberapa pemimpin Kristian telah keluar menemui Sultan Shalahuddin Al Ayyubi menyatakan hasratnya untuk menyerahkan kota Suci secara aman dan minta agar nyawa mereka diselamatkan.
Akan tetapi Sultan menolak sambil berkata: 
“Aku tidak akan menaklukkan kota ini kecuali dengan kekerasan sebagaimana kamu dahulu menaklukinya dengan kekerasan. Aku tidak akan membiarkan seorang Kristian pun melainkan akan kubunuh sebagaimana engkau membunuh semua kaum Muslimin di dalam kota ini dahulu.”
Setelah usaha diplomatik mereka tidak berhasil, Datuk Bandar Jerussalem sendiri datang menghadap Sultan dengan merendah diri dan minta dikasihani, membujuk dan merayu dengan segala cara. Sultan Shalahuddin Al Ayyubi tidak menjawabnya.
Akhirnya ketua Kristian itu berkata: 
“Jika tuan tidak mau berdamai dengan kami, kami akan balik dan membunuh semua tahanan (terdiri dari kaum Muslimin sebanyak 4000 orang) yang ada pada kami. Kami juga akan membunuh anak cucu kami dan perempuan-perempuan kami. Setelah itu kami akan binasakan rumah-rumah dan bangunan-bangunan yang indah-indah, semua harta dan perhiasan yang ada pada kami akan dibakar. Kami juga akan memusnahkan Kubah Shahra’, kami akan hancurkan semua yang ada sehingga tidak ada apa-apa lagi yang bisa dimanfaatkan. Selepas itu, kami akan keluar untuk berperang mati-matian, karena sudah tidak ada apa-apa lagi yang kami harapkan selepas ini. Tidak seorang pun boleh membunuh kami sehingga sebilangan orang-orang tuan yang terbunuh terlebih dahulu. Nah, jika demikian keadaannya, kebaikan apalagi yang bisa tuan harapkan?”
Setelah mendengar kata-kata itu, Sultan Shalahuddin Al Ayyubi menjadi lembut dan kasihan dan bersedia untuk memberikan keamanan. Beliau meminta nasihat para ulama yang mendampinginya mengenai sumpah berat yang telah diucapkannya. Para ulama mengatakan bahawa beliau mesti menebus sumpahnya dengan membayar Kifarat sebagaimana yang telah disyariatkan.
Maka berlangsunglah penyerahan kota secara aman dengan syarat setiap penduduk mesti membayar uang tebusan. Bagi lelaki wajib membayar sepuluh dinar, perempuan lima dinar dan anak-anak dua dinar saja. 
Barangsiapa yang tidak mampu membayar tebusan, akan menjadi tawanan kaum Muslimin dan berkedudukan sebagai hamba. Semua rumah, senjata dan alat-alat peperangan lainnya mesti ditinggalkan untuk kaum Muslimin. Mereka boleh pergi ke mana-mana tempat yang aman untuk mereka. Mereka diberi tempo selama empat puluh hari untuk memenuhi syarat-syaratnya, dan Barangsiapa yang tidak sanggup menunaikannya melewati dari waktu itu, ia akan menjadi tawanan. 
Ternyata ada 16,000 orang Kristian yang tidak sanggup membayar uang tebusan. Semua mereka ditahan sebagai hamba.
Maka pada hari Jumaat 27 Rajab 583 Hijrah, Sultan Shalahuddin bersama kaum Muslimin memasuki Baitul Maqdis. Mereka melaungkan “Allahu Akbar” dan bersyukur kehadirat Allah SWT. 
Air mata kegembiraan menitis di setiap pipi kaum Muslimin saat memasuki kota itu. 
Para ulama dan solehin datang mengucapkan tahniah kepada Sultan Shalahuddin Al Ayyubi di atas perjuangannya yang telah berhasil. Apalagi tanggal tersebut bersamaan dengan tarikh Isra’ Mi`raj Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. 
Pada hari Jumat tersebut, kaum Muslimin tidak sempat melaksankan sholat Jumat di Masjidil Aqsa karena sempitnya waktu. Mereka terpaksa membersihkan Masjid Suci itu dari babi, kayu-kayu salib, gambar-gambar rahib dan patung-patung yang dipertuhankan oleh kaum Kristian. 
Barulah pada Jumat berikutnya mereka melaksanakan solat Jumat di Masjidil Aqsa buat pertama kalinya dalam masa 92 tahun. 
Muhyiddin bin Muhammad bin Ali bin Zaki telah bertindak selaku khatib atas izin Sultan Shalahuddin Al Ayyubi.
Kejatuhan Jerussalem ke tangan kaum Muslimin telah membuat Eropa marah. Mereka melancarkan kutipan yang disebut “Saladin tithe”, yakni derma wajib untuk melawan Shalahuddin yang hasilnya digunakan untuk membiayai perang Salib. 
Dengan angkatan perang yang besar, beberapa orang raja Eropa berangkat untuk merebut kota Suci itu. Maka terjadilah perang Salib ketiga yang sangat sengit. 
Namun demikian, Shalahuddin Al Ayyubi masih dapat mempertahankan Jerussalem sehingga perang tamat. 
Setahun selepas perang Salib ke tiga itu, Sultan Shalahuddin Al Ayyubi pulang ke Rahmatullah (Semoga ALLOH SWT melimpahkan rahmat ke atasnya, amin).

1 komentar:

  1. http://kreasimasadepan441.blogspot.com/2017/12/lionel-messi-dan-trio-baru-barcelona.html
    http://kreasimasadepan441.blogspot.com/2017/12/gunung-sinabung-meletus-warga-diimbau.html
    http://kreasimasadepan441.blogspot.com/2017/12/aneka-destinasi-untuk-liburan-akhir.html

    Tunggu Apa Lagi Guyss..
    Let's Join With Us At vipkiukiu .net ^^
    Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami :
    - BBM : D8809B07 / 2B8EC0D2
    - WHATSAPP : +62813-2938-6562
    - LINE : DOMINO1945.COM

    BalasHapus