Seringkali manusia menghubungkan pertambahan usia dengan kedewasaan,
meskipun memang usia tua belum tentu bisa bersikap dewasa. Hingga ada
ungkapan, “Tua itu pasti, dewasa itu pilihan.”
Pernah saya membaca sebuah tulisan seorang ustadz yang sering muncul
di layar kaca, beliau menuliskan tentang ciri-ciri kedewasaan. Tulis
beliau, dewasa adalah diam aktif, tak banyak bicara, tak banyak komentar
tapi menyikapi permasalahan dengan bijaksana. Dewasa juga berarti
mempunyai empati, senantiasa meluangkan jiwa untuk memikirkan dan
memahami perasaan orang lain. Dewasa adalah senantiasa berhati-hati
dalam berpendapat, menentukan sikap, menggunakan waktu dan membelanjakan
harta . Dewasa adalah sabar, sehingga ia bisa mengendalikan jiwanya
dari ledakan emosi dan menenangkan hatinya dari kemarahan tanpa guna.
Dewasa adalah bertanggungjawab akan kehidupan yang ia arungi.
Semoga kedewasaan kita tidak terlambat tumbuh. Memang kita tak akan
bisa seperti Imam Syafi’i yang telah menguasai berbagai macam ilmu
agama saat usianya baru lima belas tahun dan ia pun telah menjadi mufti
kota Makkah pada usia itu. Atau seperti Usamah bin Zaid yang memimpin
ribuan pasukan, padahal usianya belum genap 20 tahun. Atau layaknya
Muhammad Al Fatih yang ketika menaklukkan Konstatinopel, ibukota Romawi
Timur, dalam usia 23 tahun. Kita memang tak bisa seperti mereka karena
kini kita telah tua, hanya saja jangan sampai kita berputus asa karena
kita masih bisa belajar dari mereka tentang kegigihan dalam menggapai
cita-cita, kesabaran dalam merentas jalan ke surga dan kesungguhan
dalam mewujudkan harapan.
Imam Syafi’i tidak pernah berhenti menuntut ilmu meski telah
mendapat kedudukan istimewa di Makkah. Ia pergi ke Madinah untuk
belajar kepada Imam Malik, ia juga ke Mesir, Kufah, Baghdad dan
kota-kota lainnya. Hingga berpuluh tahun merantau demi ilmu, dia tak
pernah berhenti. Dan ia pun berpesan kepada kita semua, “Bepergianlah,
kamu pasti akan mendapatkan pengganti apa yang kamu tinggalkan.
Berusaha keraslah, karena kenikmatan hidup ada pada kelelahan usaha
keras. Aku melihat, air yang berhenti itu merusak dirinya, kalau ia
mengalir pasti akan baik, kalau ia berhenti akan buruk. Dan, kalaulah
singa tidak meninggalkan tempatnya ia tidak akan mendapat buruan.
Demikian juga panah, kalau tidak bergerak meninggalkan busur, dia tidak
akan mengenai sasaran.”
Sedang Usamah, meski dijuluki kesayangan dari putra kesayangan
karena begitu dicintai Nabi Muhammad saw, ia tidak berhenti dalam
berjihad, tak berhenti dalam mengharapkan kesyahidan. Usia 15 tahun ia
terjun pada perang Khandaq, usia 18 tahun ia ikut serta pada perang
Mu’tah dan belum genap 20 tahun ia memimpin pasukan ke Syam. Dalam
jangka waktu 40 hari misinya sukses, berhasil dengan gemilang tanpa
satu pun korban. Kita mungkin memang tak bisa seperti dia, tapi kita
bisa meneladani tekadnya, mengambil pelajaran dari perjalanan hidupnya.
Atau paling tidak bersemboyan seperti semboyannya, “Untuk kemenangan,
matilah!”
Bagaimana dengan Al Fatih? Dia yang ketika berusia 10 tahun telah
dipercaya untuk menjadi gubernur dan panglima perang di wilayah Amasya.
Ketika usianya 14 tahun ia diminta untuk menggantikan ayahnya, Sultan
Murad II, untuk memimpin negara meski hanya sementara. Dan di usia 20
tahun ia benar-benar menggantikan ayahnya yang telah mangkat. Akhirnya
di usia 23 tahun ia berhasil menaklukkan Konstatinopel, ibu kota Romawi
Timur. Demikianlah, ia di usia mudanya telah berhasil mewujudkan
ramalan Rasulullah setelah sekian lama umat islam menanti-nantikannya.
Lingkungan istana tidak membuatnya larut dalam kelenaan dan kesenangan.
Kecintaannya pada ilmu membuatnya tumbuh menjadi sosok pemimpin yang
mencintai agama dan jihad di jalan-Nya. Kita mungkin tak akan sempat
mewujudkan mimpi-mimpi umat yang besar ini di usia yang sama dengan AL
Fatih, tapi kita bisa mengambil semangat dan tekadnya yang tergambar
pada jawabannya ketika ditanya oleh seorang ibu, kenapa ia mau berpayah
lelah membantu pasukannya menyingkirkan salju dan batu-batu, membuat
jalan. Ia berkata, “Wahai ibu, pekerjaan berat ini semuanya untuk jalan
islam. Apakah anda mengira bahwa kami pantas untuk disebut mujahid
jika kami tidak menanggung kesulitan ini di jalan Allah? Wahai ibu,
pedang-pedang yang akan kita gunakan ini bukan untuk hiasan atau
kesombongan tapi untuk berperang di jalan Allah.”
Dan ketika ia meninggal ia meninggalkan pesan pada putranya, yang
salah satu penggalannya berbunyi, “Berharaplah kepada agama, sebab ia
adalah rahasia kemenangan kita.”
Dewasa adalah pilihan, maka mana yang akan kita pilih? Berusaha
menjadi dewasa seiring putaran masa atau bertahan dalam kekanakan
dengan wajah kita yang kian menua? Semoga kita lebih memahami arti
kedewasaan yang sesungguhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar