Selama enam tahun berkiprah, para aktivis JIL sering melontarkan
pemikiran-pemikiran nyeleneh. Mereka juga acap kali mempersoalkan
otentisitas al-Qur’an dan Sunnah. Jika untuk merancukan pemahaman agama
umat, buat apa dipertahankan.
Pagi itu (17/3), di kantor Radio 68H Utan Kayu sedang berlangsung
acara dialog dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Acara yang biasanya
disebut ‘Kongkow Bareng Gus Dur’ ini membicarakan berbagai hal. Bentuk
acaranya tak terlalu formal. Para peserta duduk di bangku-bangku yang
telah disediakan, mirip meja kursi rumah makan.
Yang hadir dari berbagai kalangan, mulai dari abang becak hingga
orang berpangkat. Semua tampak serius menyimak ‘ocehan’ Gus Dur. Pagi
itu, acara ‘Kongkow Bareng Gus Dur’ membahas tentang “Wihdatul Wujud”
versi Syekh Siti Jenar. Pemandu acaranya Muhammad Guntur Romli, salah
seorang aktivis jaringan Islam Liberal (JIL) yang juga aktif di Jurnal
Kalam, Utan Kayu.
Selama ini, Utan Kayu 68 H memang menjadi markas beberapa kelompok
budaya, seni dan agama. JIL juga bermarkas di sini. “Kami memang
mendapat tempat di sini, sejak terbentuknya JIL pada 2001,” jelas
Novriantoni Kahar, salah seorang aktivis JIL kepada Chairul Ahmad dari
Sabili usai acara tersebut.
Selain menjadi markas, Utan Kayu 68H juga benar-benar menjadi ‘tulang
punggung’ kaum liberal selama enam tahun belakangan ini. Dari situlah
para aktivis liberal ini menyebarluaskan pikiran-pikiran nyelenehnya ke
umat Islam Indonesia. Talk show di radio dengan mengangkat tema-tema
nyeleneh misalnya, rutin disiarkan setiap Kamis. Isinya banyak yang
menggugat keshahihan Islam.
Milis dan website JIL juga selalu mengudara dan mudah diakses oleh
banyak kalangan. Sama seperti talk show, konten website tersebut pun
tidak sedikit yang mengritik syariat Islam. Bahkan tidak jarang juga
menggugat otentitas al-Qur’an yang menjadi kitab suci umat Islam seluruh
dunia.
Namun, tidak semua kegiatan JIL ternyata berjalan mulus. Ada juga
acara yang kurang aktif. Misalnya, program diskusi di kampus-kampus.
Acara ini sama sekali tidak berjalan. Penyebabnya soal teknis. Sebagian
aktivis JIL melanjutkan studi ke luar negeri, sehingga program tersebut
jadi terbengkalai dan tidak terurus sama sekali.
“Mas Ulil (Ulil Abshar Abdalla—red) ada di Amerika, Burhan di
Australia. Nong (Nong Darol Mahmada—red) di Australia dan Mas Luthfi
(Luthfi Assyaukanie—red) lagi di Singapura. Anik juga di India. Jadi
agak tersendat,” kata Novriantoni, memberi penjelasan.
Cutinya sejumlah personil JIL ternyata tak membuat aktivitas JIL
berhenti. Sebaliknya, mereka terus bergerak dengan menggelar berbagai
kegiatan. Memperingati hari kelahirannya, misalnya, para pendukung JIL
menggelar berbagai diskusi dan pemutaran film. Acara yang digelar pada
22-24 Maret 2007 itu mengangkat tema ‘Agama dan Ruang Publik,
Memperbincangkan Kembali Sekularisme.’
Diskusi yang direncanakan akan berlangsung selama tiga hari tersebut
akan mengundang beberapa pembicara, antara lain: Franky Budi Hardiman,
Fransisca Seda, Ihsan Ali Fauzi dan Hamid Basyaib. Mereka berbicara di
hari pertama dengan tema ‘Sekularisme: Konsepsi dan Teori.’
Hari kedua diskusi mengangkat tema ‘Sekularisme dalam Praktik:
Pengalaman beberapa negara.’ Para pembicara antara lain, Dick van der
Meij, Rizal Mallarangeng, Syamsurizal Panggabean dan Novriantoni Kahar.
Hari ketiga mengangkat tema ‘Sekularisme: Prospek dan Tantangannya.”
Martin Lukito Sinaga, Gadis Arivia dan Saiful Mujani bertindak sebagai
pembicara dengan moderator Guntur Romli.
Meski berada di luar negeri, para pentolan Jill tetap aktif mengirim
tulisannya. Ulil Abshar Abdallah misalnya. Meski sedang sibuk studi
doktor di Universitas Harvard, Amerika Serikat (AS), pria yang baru saja
menyabet gelar master dari Boston University ini sempat mengirim
tulisannya.
Baru-baru ini, terbit satu buku baru karyanya. Buku yang diberi judul
Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam, Bunga Rampai Surat-surat Tersiar
ini merupakan kumpulan surat Ulil dengan para anggota milis Islam
Liberal sejak ia belajar di Boston satu setengah tahun lamanya. “Saya
senang sekali. Surat-surat saya yang semula hanya dibaca secara terbatas
bisa terbit dan dibaca oleh publik,” katanya, sebagaimana dikutip
harian Kompas beberapa waktu lalu.
Hal serupa juga dilakukan Luthfi Assyaukanie. Luthfi yang sedang
berada di Australia, tak segan-segan menebarkan pemikirannya ke
masyarakat Indonesia. Bahkan, belakangan ini ia terlihat giat menuliskan
pemikiran liberalnya tersebut ke sejumlah media massa Indonesia.
Tulisannya yang berjudul Dua Abad Islam Liberal dimuat Kompas, Jumat
(2/3) lalu. Dalam tulisan tersebut. Luthfi menyebut JIL, lembaga yang
dibentuk pada 2001 itu sebagai sebuah gerakan pencerahan bagi umat Islam
di Indonesia. Karenanya, ia pun menganjurkan umat Islam untuk gembira
menyambut ulang tahun JIL ke-6 ini. “Selamat ulang tahun JIL. Selamat
merayakan kebebasan,” tulisnya.
Benarkah JIL sebuah gerakan pencerahan? Saat mengangkat isu syariat
Islam, kenyataannya hampir semua tulisan aktivis JIL ‘menolak’ syariat.
Apakah penolakan syariat termasuk gerakan pencerahan? Tulisan-tulisan
aktivis JIL yang menggugat otentitas al-Qur’an apakah juga termasuk
gerakan pencerahan?
Selama ini, pemahaman aktivis JIL memang dikenal berseberangan dengan
mainstream yang dianut ulama dan umat Islam Indonesia. Mereka juga
kerap berpikiran nyeleneh. Karenanya, jangan terlalu heran jika mereka
sering menentang keras fatwa yang telah dikeluarkan Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dalam berbagai perkara.
Salah satunya tentang Ahmadiyah. Seperti diketahui, MUI pada 2005
lalu mengeluarkan 11 fatwa, yang di antaranya menyatakan bahwa aliran
Ahmadiyah merupakan gerakan sesat karena menyimpang dari ajaran Islam.
Di saat yang sama, MUI juga mencantumkan paham pluralisme, pemikiran
liberal dan sekularisme sebagai hal yang haram.
Sebelas fatwa MUI itu sontak membuat kaum liberal blingsatan. Mereka
lantas menggalang berbagai pertemuan dan diskusi dengan mengundang
berbagai tokoh agama, seperti Gus Dur dan lainnya. Isinya menghujat dan
menyebut bahwa fatwa MUI tersebut tidak berdasar.
Karuan saja langkah JIL yang kini berusia enam tahun ini terus
menebar pemikiran nyeleneh menuai kritik tajam banyak pihak. Selama enam
tahun berkiprah, gerakan JIL sering dianggap meresahkan masyarakat,
terutama umat Islam. Itu disebabkan karena mereka dianggap menebarkan
pemikiran-pemikiran ‘sesat’ yang membuat rancu pemahaman agama umat
Islam.
Namun, itu kembali dibantah kalangan aktivis JIL. Hamid Basyaib
misalnya, tidak menganggap lontaran-lontaran mereka di JIL selama ini
sesat dan menyesatkan. Apalagi sampai merancukan pemahaman agama umat.
“Kesesatan apa. Dalam pemikiran, itu kan biasa saja. Dalam sejarah Islam
dari dulu memang selalu ada perbedaan pandangan. Jadi, perbedaan itu
hal biasa. Yang penting bagaimana mendiskusikannya,” ujar aktivis JIL.
Kolega Hamid di JIL Novriantoni juga mengemukakan hal serupa. Menurut
Novi hal seperti ini tidak akan muncul dan menjadi persoalan jika
konstelasinya berjalan normal. “Persoalan akan muncul jika ada
kelompok-kelompok yang mengatasnamakan otentisitas dan kemurnian Islam
dan berusaha mengerus tafsiran seperti itu,” tuturnya.
Pendapat dua pentolan JIL ini ditanggapi sinis Ketua Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi. Menurut Muzadi, selama ini
kiprah aktivis JIL lebih banyak melonggarkan akidah umat ketimbang
membuat keyakinan iman yang baik.
Bahwa sebagian besar aktivis JIL adalah anak orang-orang NU, Muzadi
tidak menafikannya. Namun, ia juga menolak jika ada yang menyebut bahwa
pemikiran JIL berasal dari NU. Pakem NU, lanjut Muzadi tidaklah seperti
itu. Bahkan, pemikiran mereka tidak bagus untuk perkembangan NU.
”Secara akidah pemikiran mereka tidak bagus untuk NU. NU tidak
menggangap mereka bagian dari NU, pemikiran mereka bukan bagian dari NU.
Soal mereka adalah keponakan, menantu orang NU, iyalah. NU tetap
berpegang pada manhaj NU,” katanya.
Muzadi tidak menolak jika ada pendapat bahwa ini adalah bagian dari
musuh-musuh Islam menghancurkan Islam. Barat, kata Muzadi, menjadikan
negara-negara Islam yang miskin menjadi sasaran proyek mereka. “Mereka
didanai oleh funding-funding khusus. Jadi aman sekolahnya,” tuturnya.
Karenanya, Muzadi mengingatkan umat Islam jika mau belajar Islam, ya
di Timur. Sebaliknya, jika mau belajar teknologi di Barat. Jangan
belajar agama di Barat, atau sebaliknya. “Jika itu terjadi, ya akan
dibenturkan untuk kepentingannya sendiri,” kata Muzadi, mengingatkan.
Menurut Direktur INSIST Adnin Armas, aktivis JIl adalah orang-orang
Islam yang terbaratkan. Mereka menggunakan ayat-ayat al-Qur’an dengan
paradigma Barat. “Dalam kancah ghazwul fikri saat ini, perkembangan
Indonesia cukup dahsyat,” akunya.
Adnin juga mengritik pandangan Hamid Basyaib yang menganggap ini
hanya sekadar perbedaan pendapat. Yang dilakukan JIL selama ini, lanjut
Adnin adalah menggerogoti nilai-nilai dasar Islam. Mereka sudah
mencampuradukkan antara yang hak dan batil, bukan lagi sekadar perbedaan
pendapat sebagaimana mereka klaim. Karena mereka sudah menghujat
al-Qur’an, mengritik Rasulullah saw dan menganggap semua agama sama.
“Jadi, mereka benar-benar Muslim yang terbaratkan. Mereka mengutip
ayat dan pendepat ulama, tapi cara berpikir mereka secara umum arahnya
telah berbeda. Bisa saja mereka mengutip pendapat sarjana Muslim, tapi
arah pikirannya berbeda,” tegas cendekiawan Muslim yang getol menolak
pendapat kalangan Sepilis ini.
Pendapat lain dikemukakan Mantan direktur Lembaga Kajian dan
Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU Said Budairi. Ia mengaku
tak sependapat dengan kelompok Ulil Abshar Abdalla cs. Bahkan, dalam
suatu pertemuan, ia pernah mengingatkan Ulil agar berhati-hati membawa
perkembangan ke masyarakat. “Kalau sudah pulang, ajak dia diskusi yang
benar,” sarannya.
Jadi, seyogianya JIL dibubarkan saja. Jika hanya untuk merancukan pemahaman agama umat, untuk apa. (sabili/al-islahonline)
mari perkuat iman kita
BalasHapus